Bintang dan
bulan selalu bersama, namun tak berarti mereka adalah satu. Daun dan pohon juga
selalu bersama, malah dalam satu ikatan yang bernama tanaman. Pelangi ada
setelah hujan datang membasahi bumi. Dua musim -musim hujan dan musim panas,
yang sangat setia menemani bumi Pertiwi pun tak selamanya bersama, bersatu,
padu. Begitu pula dengan saya dan sosok kharismatik nan bijaksana, Dian. Kami
terlahir dari dua latar belakang keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang
berbeda. Tentunya, kami memiliki kepribadian yang berbeda pula. Kami tak mengenal sejak kecil, bahkan remaja
pun saya tak mengenal, siapa itu Dian? Seorang wanitakah? Atau laki-laki?
Entahlah, tidak terlalu penting untuk memikirkan sebuah nama dengan sosok yang
mendiskripsikan bagaimana seseorang tersebut.
Supel?
Mungkin. Biasa? Tentu tidak. Sungguh luar biasa sosok saya yang hanya
diciptakan satu saja oleh Tuhan di dunia ini. Tidak mungkin ada sosok ‘saya’
yang lainnya dengan kepribadian, bentuk fisik, dan tingkah laku yang sama.
Tidak mungkin pula dengan cerita kehidupan yang sama. Itulah yang saya namakan
dengan ‘istimewa’. Ya, saya memang benar-benar istimewa. Bagi saya, dunia saya
adalah segalanya. Saya dan pikiran-pikiran saya tentang kehidupan ini. Saya dan
tingkah laku saya adalah istimewa. Di mana tak ada seorang pun yang benar-benar
saya anggap penting untuk dapat mengubah diri saya menjadi orang lain yang tak
berkarakteristik. Sedikit sombong, namun itulah kenyataannya. Saya bersyukur
kepada Tuhan, karena telah menciptakan sosok ‘saya’ di dunia ini dengan paket
lengkap dengan kemasan pas berlabelkan ‘saya’.
***
“Hi
! Kamu yang duduk di bukit ! Aku Dian. Salam kenal ya…” teriak Dian kepada
saya.
“Hi
! Kamu ! Sedang apa di sana?” teriak Dian untuk kedua kalinya.
Tak
sedikit pun rasa simpati saya kepada Dian, saya langsung pergi meninggalkan
tempat itu. Bagi saya, ia hanyalah orang asing yang menganggu ketenangan saya
saat itu.
“Hi…”
jawab saya dengan berlalu pergi tanpa melihat wajah Dian.
“Sial
! Sombong sekali anak itu !” gerutu Dian dalam hati.
Sejak
siang itu, saya jadi tahu nama salah satu teman saya, Dian. Sosok sok kenal,
terlalu ramah, pengusik, dan terlihat baik hati. Walaupun saya tidak begitu
mengenalnya, hanya sekilas pandangan saja, itu pun dari kejauhan mata.
Satu
minggu, satu bulan, hingga enam bulan berlalu. Dian kini menjadi teman dekat
saya, teramat dekat. Bahkan bisa dikatakan seperti saudara. Bercanda bersama,
makan bersama, bermain bersama, mengusik orang-orang, hingga saling bertukar
cerita, walaupun saya yang ternyata lebih banyak bercerita kepadanya daripada ia
yang bercerita kepada saya tentang kehidupannya.
Saya
sering dianggap aneh oleh teman-teman dan orang-orang di sekitar saya. Mengapa?
Karena sifat dan tingkah laku saya yang berbeda dengan kebanyakan orang di luar
sana. Saya menganggap itu sebagai kelebihan dan kekurangan. Entah. Apakah benar
demikian? Ya, terkadang, malah sering sekali saya diam ketika keadaan ramai,
dan saya menjadi ‘sok’ ketika keadaan diam. Saya lebih menyukai diam dan
melihat alam sekitar, melihat tingkah laku orang-orang, ketimbang bercerita
tentang diri saya kepada banyak orang. Teman dekat pun tak banyak yang tahu
tentang saya. saya hanya percaya kepada seorang yang benar-benar saya anggap
sebagai ‘sahabat’, bukan ‘teman’. Sombong, sok, introfert, komitmen
tinggi, itulah cara pandang sebagian orang tentang diri saya. Selain
itu, saya juga tidak suka berpacaran. Teman dekat yang dikira kebanyakan orang gebetan,
ada, tetapi saya tidak tertarik dengan mereka, atau lebih tepatnya belum
tertarik. Saya masih ingin mengejar cita-cita saya dan memegang teguh komitmen
untuk tidak berpacaran, untuk saat ini. Fokus dengan tujuan utama telah
tertanam dalam otak, tingkah laku, dan diri saya. telah menjiwai raga ini untuk
terus menjaga komitmen tersebut. Namun yang pasti, saya mencintai dan enjoy
dengan diri saya sendiri.
Begitu
pula dengan Dian. Ia juga sosok yang manis, baik hati, dan berprinsip. Ya,
tidak jauh beda dengan diri saya. Walaupun basic kami dari keluarga yang
berbeda, terkadang, kami memiliki tingkah laku yang sama. Aneh memang, tetapi
saya anggap itu hanya kebetulan semata. Dian belum pernah berpacaran, sama
seperti saya. Namun Dian lebih baik daripada saya ketika bertemu lawan jenis
dan bergaul dengan mereka. Sangat baik. Dian bisa menjadi sosok kakak yang
bijak, orang tua yang menyayangi anaknya, dan sahabat yang selalu setia dengan
sahabatnya.
“Ian,
kamu pernah ngrasa aneh gak dengan diri saya?” tanyaku dengan
menatap bintang-bintang di langit legam nan damai di bukit samping sekolah.
“Nggak.
Memangnya ada apa?” jawab Dian sambil berbaring di samping saya dan
melentangkan kedua tangannya ke samping kanan kirinya.
“Enggak.
Aneh aja gitu. Ada ya, orang seperti saya, hahaha…” candaku kepadanya.
“Hahaha…
tapi terkadang aku juga mikir kamu itu ‘lucu’. Lucu dengan sikap dan
prinsip kamu yang sangat dipegang teguh itu. Aku juga sempat mikir, apa
jangan-jangan kamu memang gak mau pacaran ya? Gak pengen
seneng-seneng di masa mudamu, ya? Hahaha…”
“Sebenarnya
sih simple aja jawabannya, karena itu bukan tujuan utamaku saat
ini. Saya lebih fokus dengan cita-cita menjadi seorang broadcaster dan traveller.
Walaupun kamu tahu, tak satu pun keluarga saya yang mendukung saya. Tapi saya
yakin suatu saat, dengan kegigihan saya, saya mampu meraih mimpi saya. Saya
yakin.”
“Ya,
begitulah kamu dengan serangkaian cita-cita serta prinsip kamu. Aku doakan aja
yang terbaik buat kamu. Eh, tahu, gak?? Hi !” sambil melirik ke arah
saya yang ternyata saya telah tertidur pulas dengan lukisan simpul di wajah.
“Yah,
malah tidur nih anak. Yaudahlah. Gak jadi cerita!” gerutu Dian dengan
wajah masam. Dengan menghitung banyaknya bintang di langit, akhirnya ia pun
tertidur di samping saya.
**bersambung**
Mantap. "Bintang dan bulan selalu bersama, namun tak berarti mereka adalah satu." Lanjutkan!
BalasHapusciee yang komen hehehe :D
BalasHapusMakasii :))